JOGJAGRID.COM : Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi tema dalam Diskusi Bersama Calon Wakil Walikota Yogya Singgih Raharjo dan pengamat kebudayaan Haryadi Baskara di Yogyakarta Sabtu (05/10/2024).
Dalam forum yang dimoderatori Dwijo Suyono itu juga dibahas kaitan KTR dengan regulasinya yakni
Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Calon Wakil Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo dalam forum tersebut mengatakan regulasi tembakau merupakan keputusan politik antara legislatif dan eksekutif. Peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada beberapa wilayah di Kota Yogyakarta sudah ada sejak 2017 lalu.
"Kami tidak melarang sepenuhnya, tapi menyediakan tempat khusus bagi para perokok di area publik seperti Malioboro. Jadi bukan tanpa solusi, kita sediakan tempat-tempat khusus untuk merokok," kata Singgih.
Singgih tak menepis, jika perokok juga memiliki hak untuk menikmati ruang publik, untuk itu perlu adanya ruang-ruang merokok yang layak di lokasi-lokasi KTR tersebut.
“Harus ada keseimbangan antara keduanya, ini adalah tantangan yang dihadapi oleh banyak kebijakan publik. Mungkin salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan adalah menyediakan area khusus merokok yang terpisah dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai,” katanya.
Dengan demikian, perokok masih bisa merokok tanpa mengganggu kenyamanan dan kesehatan orang lain.
Singgih menambahkan masyarakat harus dilibatkan dalam dialog tentang kebijakan. Mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk perokok, bisa membantu menemukan solusi yang lebih adil dan diterima oleh semua pihak.
Dalam forum itu disinggung aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Yogyakarta khususnya Malioboro yang sudah ada sejak 2017.
Dr Hariadi Baskoro, seorang peneliti kebudayaan mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir, keresahan masyarakat tembakau di Indonesia semakin meningkat seiring dengan munculnya berbagai peraturan pemerintah yang dianggap merugikan sektor pertembakauan.
Salah satu peraturan yang menjadi sorotan adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mengandung pasal-pasal yang membatasi penggunaan dan distribusi produk tembakau.
Para petani dan pekerja tembakau mengalami dampak secara langsung dari peraturan tersebut, jutaan masyarakat yang bergantung pada sektor ini sangat membutuhkan perhatian dan komitmen dari pemerintah.
Hariadi menambahkan bahwa regulasi yang diberlakukan sering kali lebih mengedepankan kepentingan dagang daripada mencerdaskan masyarakat. Hariadi memberikan sorot pandang umum tentang rokok yang dianggap hanya merusak kesehatan.
"Rokok dianggap merusak dan membunuh, namun ada dimensi budaya yang sering kali diabaikan. Pandangan ini bertentangan dengan pendekatan lama yang cenderung mendikte," ungkap Hariadi.
Rokok dalam sejarahnya, menurut Hariadi menjadi media pembelajaran dan diplomasi. Namun kini banyak kebijakan dibuat atas tekanan pihak-pihak yang ingin mengendalikan pasar tembakau tanpa memberikan solusi bijak.
Dalam momen tersebut di bahas pula keresahan buruh rokok terkait pelarangan penjualan rokok eceran. Buruh dirasakan akan terdampak selain pedagang kecil dan konsumen.
Pun demikian tentang rokok legal juga menjadi sorotan dengan harapan harus ditekan dengan regulasi. Apalagi kini rokok ilegal justru mudah ditemukan di media sosial dan marketplace.
"Merokok adalah pilihan pribadi. Kebijakan yang dibuat harus mencerminkan keberagaman pandangan dan kebutuhan lokal. Yogyakarta harus dikelola dengan bijak dalam mempertimbangkan semua kepentingan, termasuk isu tembakau. Regulasi tembakau diharapkan dapat mencerminkan keseimbangan antara kesehatan publik, hak pilih individu dan keberlanjutan ekosistem tembakau yang merupakan bagian penting dari budaya lokal," tandasnya.