Membedah Penanganan Kasus NPD Lewat Kampanye #BrokenButUnBroken di Yogyakarta
Membedah Penanganan Kasus NPD Lewat Kampanye #BrokenButUnBroken di Yogyakarta

Membedah Penanganan Kasus NPD Lewat Kampanye #BrokenButUnBroken di Yogyakarta

JOGJAGRID.COM : Pembahasan soal NPD (narcissistic personality disorder) belakangan ini marak diperbincangkan. Umumnya pengidap NPD cenderung memiliki level narsistik yang ekstrim.

Di balik topeng kepercayaan diri yang besar, mereka mudah depresi jika suatu hal tidak berjalan sesuai imajinasi. Kepribadian superior, haus pujian dan nir-empati kerap melekat padanya. 

Dalam ranah psikologi, NPD merupakan salah satu gangguan mental yang membuat pengidapnya butuh dikagumi. 

Kartika Soeminar adalah seorang NPD Abuse Survivor, selama 23 tahun Kartika hidup bersama pasangannya yang merupakan orang dengan NPD. Bagaimana Kartika menjalani kehidupan bersama orang dengan NPD.

Mengusung kampanye #BrokenButUnBroken forum “Intimate Session with Kartika Soeminar” digelar membahas persoalan NPD itu Sabtu 27 Juli 2024 di Royal Malioboro Hotel Yogyakarta.

Kartika Soeminar, seorang pengusaha dari Bali membeberkan pengalamannya hidupnya selama 23 tahun bersama suaminya yang ternyata mengidap gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder (NPD).

Ini merupakan salah satu penyakit kejiwaan yang ditandai haus pujian, merasa paling benar, superior, tidak memiliki empati terhadap lingkungan sekitar, dan para pengidap sering tidak menyadarinya.

Kartika Soeminar juga menjadi korban yang mendapatkan perlakuan abusive dari orang terdekat yang over-narsistik, bahkan mengaku pernah mengalami depresi.

“Semua berjalan seperti biasa dalam rumah tangga kami. Namun seiring berjalan apa yang saya pendam membuat saya sakit dan menderita secara mental," kata Kartika.

Kartika berusaha melakukan kampanye dari setiap ruang kecil untuk berbagi pengalaman dan edukasi terkait NPD.

"Saya terinspirasi dari kisah kasus saya sendiri selama 23 tahun menjadi korban dari pengidap NPD sehingga melakukan kampanye, edukasi agar masyarakat memiliki pemahaman terkait NPD," kata Kartika.

Adapun kampanye yang digelorakan bernama #BrokenButUnBroken Campaign. Sebuah upaya menggelorakan pemahaman terkait gejala NPD kepada masyarakat umum. Sebelum melakukan kampanye ini, ia telah menulis terkait isu tersebut di beberapa jurnal dan buku sebagai bahan dari edukasi. Ia berharap kampanye itu bisa sampai megedukasi banyak orang.

"Kami berharap di kemudian hari kampanye ini bisa berkembang, dari kecil ke depan diadakan untuk umum, tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki dan perempuan," katanya.

Berdasarkan pengalaman yang ia rasakan, Kartika Soeminar mengingatkan agar korban NPD tidak mengambil keputusan secara gegabah untuk meninggalkan seorang NPD. "Karena untuk meninggalkan seorang NPD membutuhkan mental kuat, apalagi jika menghadapinya sendiri. Tips lain harus berada di lingkungan positif, konsultasi dengan pakar," ujarnya.

Psikolog Klinis Ery Surayka Puspa Dwi mengatakan NPD sebagai seseorang yang cenderung tidak percaya diri dan minder. Dia berada di dalam dimensi berfikir terkait kesempurnaan menjadi miliknya. Dalam berelasi, pengidap NPD selalu ingin tampil menonjol secara penampilan, kinerja sehingga dia selalu ingin mendapatkan pujian.

Selain itu orang NPD itu biasanya sukses, jabatannya mentereng, banyak penggemar, sosialisasinya bagus dan mapan. Dalam berelasi bisanya terus minta validasi, ketika tidak divalidasi dia akan merasa kecewa dan marah. "Jadi sebetulnya dia cenderung minder dan akan selalu terlihat pakai topeng," katanya.

Ia mengungkap setidaknya terdapat dua faktor utama seseorang bisa terdiagnosa NPD. Pertama, faktor genetik, yang biasanya dalam satu garis keturunan terdapat gen NPD pada salah satu anggota keluarga yang bisa diwariskan pada anggota lainnya.

Kedua, pola asuh yang sejak kecil turut membuat sang anak akan tumbuh dengan citra kesempurnaan tanpa cacat cela.

Orang tua memanjakan dan memberikan penghargaan ke anak secara berlebihan akan membuat anak overproud dan haus validasi.

"Ada juga kondisi waktu kecil anak diabaikan, tidak pernah dipuji, tidak pernah diberikan apresiasi. Ketika dia mapan, dia menuntut pasangannya untuk memujinya," ucapnya.

Advertisement banner

Baca juga:

Admin
Silakan ikuti kami di media sosial berikut.