JOGJAGRID.COM : Dugaan penipuan berkedok investasi mencuat di wilayah Yogyakarta.
Baru-baru ini, sejumlah orang melaporkan SKN ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas dugaan penipuan investasi hotel di Yogyakarta.
Modusnya, SKN membeli 24 lembar saham PT. GMS namun membayar dengan tukar guling aset yang berujung pada kerugian PT tersebut.
Penasihat Hukum para pemegang saham PT. GMS yang menjadi korban penipuan, Julius Rutumalessy menjelaskan, bahwa awalnya PT. Garuda Mitra Sejati (GMS) menawarkan penambahan saham kepada para pemegang saham pada tahun 2018. Saat itu, para pemegang saham ditawarkan 49 lembar saham dengan harga perlembar Rp 1,160 miliar.
"SKN selaku Direktur Utama ikut serta dengan mengambil 24 lembar. Pembayarannya berdasarkan RUPS (rapat umum pemegang saham) pada waktu itu disepakati secara tunai," katanta saat jumpa pers di salah satu hotel di Kota Jogja, Jumat (5/1/2024).
Namun, dalam praktiknya ternyata SKN tidak membayar saham sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Bahkan, dari puluhan cek hanya satu yang bisa dicairkan oleh PT. GMS.
"Nah, SKN ini membayar dengan menerbitkan 24 lembar cek atau bilyet giro yang masing-masing cek bernilai Rp 1,160 miliar," ujarnya.
"Kemudian dalam prosesnya ternyata cek ini tidak bisa dicairkan, sampai jatuh tempo di bulan Mei 2018 hanya satu lembar cek yang bisa dicairkan7," lanjut Julius.
Hal tersebut, kemudian terus berlarut-larut sampai akhirnya 10 bulan kemudian, tepatnya di bulan Maret 2019. Ternyata pihak direksi PT. GMS melakukan sebuah tindakan yang tidak terlebih dahulu dikomunikasikan dengan para pemegang sahamnya.
"Tapi secara sepihak mengambil tindakan-tindakan yang menguntungkan saudara SKN yang saat itu menjabat Direktur Utama," ucapnya.
Menguntungkannya itu, kata Julius, antara lain, pertama meskipun 23 cek tersebut tidak bisa dicairkan namun pembelian saham tidak dibatalkan.
Kedua, modal pembayaran yang disepakati pembayaran tunai tapi secara sepihak diubah menjadi tukar guling dengan aset yang dimiliki saudara SKN.
"Artinya, tidak ada setoran modal dalam proses pembelian saham itu kepada PT. GMS. Yang terjadi adalah proses tukar guling dengan asetnya berupa sebidang tanah yang di atasnya berdiri Hotel di kawasan Kota Jogja," katanya.
Selain itu, Julius menilai proses tukar guling yang dilakukan SKN secara hukum bermasalah.
"Nah, proses tukar guling ini sendiri pun secara hukum bermasalah karena dilakukan di bawah tangan, tidak ada akta notariilnya, kenapa? Karena aset yang mau ditukargulingkan hingga saat ini masih dijaminkan di Bank Bukopin oleh SKN untuk keperluan perusahaannya yang lain," ujarnya.
Karena tidak diakta notariil-kan, Julius menyebut proses penyertaan modalnya menjadi bermasalah. Pasalnya secara normal dalam praktik hukum, ketika seseorang menyertakan modal berupa aset maka harus ada akta inbreng untuk memasukkan aset itu menjadi aset perusahaan.
"Tapi karena proses ini bermasalah, asetnya masih dijaminkan di Bukopin akhirnya tidak bisa dibuatkan akta nota riil, maka akta inbreng pun tidak terjadi. Sehingga efeknya sampai sekarang aset itu masih atas nama SKN belum atas nama PT. GMS," katanya.
"Nah, kerugian yang timbul antara lain, pertama karena tidak jadi pembayaran tunai, PT. GMS tidak jadi mendapatkan tambahan modal dari 24 saham yang diambil SKN, atau sekitar Rp 26 miliar," imbuh Julius.
Bahkan, PT. GMS yang menaungi usaha di bidang mall dan perhotelan yaitu Jogja City Mall, Sleman City Hall dan Hotel Rich ini harus menanggung beban utang SKN di Bank Bukopin.
"Kedua, PT. GMS harus menanggung beban utang ke Bukopin karena aset yang ditukargulingkan oleh SKN masih dijaminkan SKN dan belum lunas pembayarannya," ujarnya.
Merasa dirugikan, salah satu pemegang saham PT. GMS yakni Anton Juwono melaporkan kejadian ke Polda DIY pada tanggal 8 Desember. Di sisi lain, pihaknya juga mendapatkan informasi dari rekan pengusaha lainnya bahwa dugaan tindak pidana serupa juga terjadi dan menimpa pemegang saham di perusahaan lain, dengan modus operandi yang sama, dan atas dugaan itu para pemegang saham juga telah melaporkan perbuatan curang termaktub kepada aparat penegak hukum.
"Sehingga kami memohon kepada Bapak Kapolda DIY agar benar-benar bisa memberikan atensi/perhatian khusus dalam penyelesaian adanya dugaan tindak pidana penipuan ini, yaitu dengan segera ditingkatkannya status pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan, untuk selanjutnya dapat dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri," katanya.
Hal ini penting untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi pelaku bisnis, yang akan menginvestasikan uangnya di sektor-sektor riil yang sedang berkembang di Yogyakarta. Dengan adanya kepastian hukum dan diberantasnya segala bentuk perbuatan curang (penipuan-penggelapan) di Yogyakarta, maka akan menciptakan iklim investasi yang akan membawa dampak bagi perekonomian masyarakat Yogyakarta secara luas.
"Karena sekali lagi, SKN menggunakan modus operandi yang sama di beberapa tempat yang lainnya. Salah satunya adalah di PT Kaliurang maju bersama. Bahkan sudah dilaporkan oleh para pemegang saham yang ada di sana. Laporan ini bisa di cek di Polda DIY," ucapnya.
Sementara itu, Mantan Direktur Umum PT. GMS sekaligus terlapor, Goei Shi Siang mengatakan, bahwa mengakui ada penyimpangan dalam pembelian 24 lembar saham oleh SKN yang hingga saat ini masih menjabat Direktur Utama PT. GMS.
"Sebab, waktu kita membeli aset yang Top Malioboro masih dijaminkan di Bukopin dan kita tidak tanya kepada Bukopin juga, yang penting SKN itu sah untuk 24 sahamnya," ucapnya.
"Waktu itu 24 saham sudah disahkan dan para owner tidak tahu kalau dia membeli pakai TG (tukar guling), setelah itu polemik berjalan terus akhirnya kita memikirkan kalau tidak ada PJBnya (kesepakatan antara penjual untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris) bagaimana ini," lanjut Goei.
Alhasil, direksi PT. GMS membuat PJB tanpa notaris. Saat itu Goei mengaku nominalnya Rp 45 miliar meski aslinya hanya Rp 21 miliar.
"Akhirnya kita membuat tanpa notaris, jadi cuma marking aja, tidak meminta izin bahwa itu di harga Rp 45 M ditambah bangunan Rp 5 M. Padahal saya tahunya belinya Rp 45 M tapi justru saya kaget belinya hanya Rp 21 M," ucapnya.
"Lha di situlah saya juga merasa hal ini saya juga mengakui bahwa setelah turun dari Direktur Umum saya juga bersalah juga menjalankan PJB dengan tidak dinotariskan dan akhirnya pun akhir kata merugikan PT. GMS," lanjut Goei
Terlepas dari hal tersebut, Goei mengakui jika siap menerima risiko dari kejadian itu secara hukum.
"Terus terang saya juga apapun yang terjadi di hukum saya bersedia untuk menjalani. Karena ini benar-benar memang merugikan para owner, saya juga tidak mau untuk lepas tangan atau memang kalau ini benar-benar salah," katanya.
Sementara itu, saat coba dihubungi awak media, pihak SKN masih belum merespon terkait kasus yang menyeretnya.