JOGJAGRID.COM: Suhu udara yang cukup panas di DIY dalam beberapa waktu terakhir ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas Gunung Merapi. Karena berdasarkan data yang ada di Stasiun Klimatologi Yogyakarta, malam hingga pagi hari, suhu minimum berkisar di angka 24-25 derajat Celcius.
Sementara, di siang hari suhu mampu mencapai 31-32 derajat Celcius, sehingga masih masuk dalam kategori normal.
Menurut Kepala Kelompok Data dan Informasi, Stasiun Klimatologi Yogyakarta, Etik Setyaningrum MSi, rasa gerah yang dirasakan warga, khususnya di dalam ruangan terjadi akibat adanya tingkat kelembaban atau kandungan uap air di udara yang cukup tinggi. ”Rata rata sehari tingkat kelembaban udara (RH) minimum mencapai 60-65 persen, sedangkan maksimum mencapai 80-85 persen. Dengan kondisi ini, ada proses penguapan yang tinggi hingga pembentukan awan,” ujarnya.
Etik menjelaskan, adanya uap air di udara hingga tutupan awan ini membuat radiasi balik bumi ke atmosfer tertahan oleh uap air. Dengan begitu, radiasi tersebut tidak bisa keluar bebas ke angkasa, tetapi diserap dan dipantulkan kembali ke bumi sehingga suhu udara di bumi terasa lebih gerah.
“Dengan suhu udara yang terasa gerah ini mengindikasikan bahwa di wilayah DIY sedang memasuki masa transisi dari musim kemarau ke musim hujan,” tambahnya.
Sementara, berkaitan dengan gempa bumi yang terjadi Sleman yang terjadi Sabtu (16/11/2019) pukul 02.45 WIB dinihari, ada kaitannya dengan aktivitas Merapi atau tidak.
Kepala bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr Daryono menyatakan perlu ada penelitian lebih lanjut apakah letusan Merapi, Minggu (17/11/2019) adalah dampak dari gempa Sleman.
“Aktivitas peningkatan vulkanisme memang sensitif dengan guncangan gempa tektonik. Secara tektovulkanik, aktivitas tektonik memang dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme. Dengan syarat gunung api tersebut sedang aktif, kondisi magma sedang cair dan kaya akan produksi gas. Dalam kondisi seperti ini erupsi gunung api mudah dipicu oleh gempa tektonik,” tuturnya. (Deddy Syafruddin)
Sementara, di siang hari suhu mampu mencapai 31-32 derajat Celcius, sehingga masih masuk dalam kategori normal.
Menurut Kepala Kelompok Data dan Informasi, Stasiun Klimatologi Yogyakarta, Etik Setyaningrum MSi, rasa gerah yang dirasakan warga, khususnya di dalam ruangan terjadi akibat adanya tingkat kelembaban atau kandungan uap air di udara yang cukup tinggi. ”Rata rata sehari tingkat kelembaban udara (RH) minimum mencapai 60-65 persen, sedangkan maksimum mencapai 80-85 persen. Dengan kondisi ini, ada proses penguapan yang tinggi hingga pembentukan awan,” ujarnya.
Etik menjelaskan, adanya uap air di udara hingga tutupan awan ini membuat radiasi balik bumi ke atmosfer tertahan oleh uap air. Dengan begitu, radiasi tersebut tidak bisa keluar bebas ke angkasa, tetapi diserap dan dipantulkan kembali ke bumi sehingga suhu udara di bumi terasa lebih gerah.
“Dengan suhu udara yang terasa gerah ini mengindikasikan bahwa di wilayah DIY sedang memasuki masa transisi dari musim kemarau ke musim hujan,” tambahnya.
Sementara, berkaitan dengan gempa bumi yang terjadi Sleman yang terjadi Sabtu (16/11/2019) pukul 02.45 WIB dinihari, ada kaitannya dengan aktivitas Merapi atau tidak.
Kepala bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr Daryono menyatakan perlu ada penelitian lebih lanjut apakah letusan Merapi, Minggu (17/11/2019) adalah dampak dari gempa Sleman.
“Aktivitas peningkatan vulkanisme memang sensitif dengan guncangan gempa tektonik. Secara tektovulkanik, aktivitas tektonik memang dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme. Dengan syarat gunung api tersebut sedang aktif, kondisi magma sedang cair dan kaya akan produksi gas. Dalam kondisi seperti ini erupsi gunung api mudah dipicu oleh gempa tektonik,” tuturnya. (Deddy Syafruddin)