JOGJAGRID.COM,Yogyakarta : Sejumlah relawan dari Center for Orangutan Protection (COP) menggelar aksi di bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Jumat 20 September 2019.
Dalam aksinya mereka mengenakan topeng dan kostum orangutan serta membawa poster, lalu melakukan aksi tutup mulut alias berdiam diri. Aksi mereka dilatarbelakangi oleh terancamnya habitat Orangutan Tapanuli.
Orangutan Tapanuli atau Pongo Tapanuliensis telah ditetapkan menjadi spesies sejak tahun 2017. Namun keberadaannya disebut terancam punah gegara pembangunan PLTA di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.
Pendiri Centre for Orangutan Protection Hardi Baktiantoro mengatakan berupangnya kejahatan lingkungan yangterjadi dari tahun ke tahun terus terjadi karena para pegiat konservasi alam, baik pemerintah, akademisi, ilmuwan dan LSM cenderung mentoleransinya dengan berbagai alas an. Termasuk atas nama investasi untuk menggerakkan perekonomian dan pembangunan.
“Kongres Primata yang dilaksanakan di Yogya (18-20 September) menjadi momentum tepat untuk mengubah cara pandang dan aksi : Berpihaklah pada primate, termasuk pada Orangutan,” ujarnya.
Hardi menambahkan keberpihakan pada Orangutan Tapanuli ini penting karena spesies itu juga baru saja terindentifikasi.
“Ironisnya spesies yang baru teridentifikasi itu langsung terancam oleh pembangunan dam untuk PLTA di ekosistem Batang Toru Sumatera Utara,” ujarnya.
Sejak pertama kali diumumkan pada tahun 2012, proyek tersebut telah menjadi sasaran kritik. Terutama karena ancaman yang ditimbulkan oleh bendungan terhadap ekosistem hutan kawasan terhadap kelangsungan hidup. Juga mata pencaharian ribuan penduduk daerah tersebut.
Dan, pembangunan bendungan di Sungai Batang Toru ini diprediksi akan mematahkan habitat Oranutan dan berpotensi membawa kepunahan spesies langka yang sekarang hanya tersisa kurang dari 800 ekor itu.
"Sekarang Orangutan Tapanuli sedang terancam oleh PLTA yang ada di Batang Toru, Sumatera Utara," kata ahli biologi dari COP, Indira Nurul Qomariah di sela aksi di bundaran UGM itu.
Indira mengatakan, meski baru ditetapkan menjadi spesies namun status Orangutan Tapanuli sudah critically endangered atau terancam punah. Sebab populasinya tinggal kurang dari 800 ekor.
"Orangutan Tapanuli ini terancam (punah) karena jumlahnya saat ini tidak sampai 800 ekor. Jadi diperkirakan jumlahnya hanya 577 sampai 760 ekor lagi," ungkapnya.
"Dan dengan pembukaan PLTA Batang Toru ini akan membuat habitat orangutan Tapanuli menjadi makin terfragmentasi, jadi terisolasi antar blok barat dan blok timur," sambungnya.
Menurutnya, akibat habitat Orangutan Tapanuli terpisah, maka mereka terancam tak bisa berkembang biak secara maksimal. Karena di antara kedua habitat tak bisa saling bertemu.
"Jadi karena pupulasinya makin kecil, juga habitatnya makin sempit maka itu membuat Orangutan Tapanuli ini juga makin terancam punah," tutur Indira.
Untuk itu, Indira dan relawan COP meminta pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTA Batang Toru yang sedang berlangsung di Tapanuli, Sumatera Utama (Sumut).
"Tuntutannya adalah kami berharap pembangunan PLTA ini tidak jadi dilakukan di habitat Orangutan Tapanuli di Batang Toru," ujarnya.(Sul)
Dalam aksinya mereka mengenakan topeng dan kostum orangutan serta membawa poster, lalu melakukan aksi tutup mulut alias berdiam diri. Aksi mereka dilatarbelakangi oleh terancamnya habitat Orangutan Tapanuli.
Orangutan Tapanuli atau Pongo Tapanuliensis telah ditetapkan menjadi spesies sejak tahun 2017. Namun keberadaannya disebut terancam punah gegara pembangunan PLTA di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.
Pendiri Centre for Orangutan Protection Hardi Baktiantoro mengatakan berupangnya kejahatan lingkungan yangterjadi dari tahun ke tahun terus terjadi karena para pegiat konservasi alam, baik pemerintah, akademisi, ilmuwan dan LSM cenderung mentoleransinya dengan berbagai alas an. Termasuk atas nama investasi untuk menggerakkan perekonomian dan pembangunan.
“Kongres Primata yang dilaksanakan di Yogya (18-20 September) menjadi momentum tepat untuk mengubah cara pandang dan aksi : Berpihaklah pada primate, termasuk pada Orangutan,” ujarnya.
Hardi menambahkan keberpihakan pada Orangutan Tapanuli ini penting karena spesies itu juga baru saja terindentifikasi.
“Ironisnya spesies yang baru teridentifikasi itu langsung terancam oleh pembangunan dam untuk PLTA di ekosistem Batang Toru Sumatera Utara,” ujarnya.
Sejak pertama kali diumumkan pada tahun 2012, proyek tersebut telah menjadi sasaran kritik. Terutama karena ancaman yang ditimbulkan oleh bendungan terhadap ekosistem hutan kawasan terhadap kelangsungan hidup. Juga mata pencaharian ribuan penduduk daerah tersebut.
Dan, pembangunan bendungan di Sungai Batang Toru ini diprediksi akan mematahkan habitat Oranutan dan berpotensi membawa kepunahan spesies langka yang sekarang hanya tersisa kurang dari 800 ekor itu.
"Sekarang Orangutan Tapanuli sedang terancam oleh PLTA yang ada di Batang Toru, Sumatera Utara," kata ahli biologi dari COP, Indira Nurul Qomariah di sela aksi di bundaran UGM itu.
Indira mengatakan, meski baru ditetapkan menjadi spesies namun status Orangutan Tapanuli sudah critically endangered atau terancam punah. Sebab populasinya tinggal kurang dari 800 ekor.
"Orangutan Tapanuli ini terancam (punah) karena jumlahnya saat ini tidak sampai 800 ekor. Jadi diperkirakan jumlahnya hanya 577 sampai 760 ekor lagi," ungkapnya.
"Dan dengan pembukaan PLTA Batang Toru ini akan membuat habitat orangutan Tapanuli menjadi makin terfragmentasi, jadi terisolasi antar blok barat dan blok timur," sambungnya.
Menurutnya, akibat habitat Orangutan Tapanuli terpisah, maka mereka terancam tak bisa berkembang biak secara maksimal. Karena di antara kedua habitat tak bisa saling bertemu.
"Jadi karena pupulasinya makin kecil, juga habitatnya makin sempit maka itu membuat Orangutan Tapanuli ini juga makin terancam punah," tutur Indira.
Untuk itu, Indira dan relawan COP meminta pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTA Batang Toru yang sedang berlangsung di Tapanuli, Sumatera Utama (Sumut).
"Tuntutannya adalah kami berharap pembangunan PLTA ini tidak jadi dilakukan di habitat Orangutan Tapanuli di Batang Toru," ujarnya.(Sul)